Peringkat ini sangat jomplang dibanding negara tetangga Singapura yang menempati urutan pertama dalam urusan membaca. Minat baca warga Negeri Singa sangat tinggi mengalahkan Hong Kong, Kanada, Finlandia, dan Irlandia yang berada di lima besar.
Hasil penelitian PISA ini seakan memperkuat survei 3 tahunan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut minat baca anak-anak di Indonesia hanya 17,66%, sedangkan sisanya lebih menyukai menonton. Anak-anak lebih memilih menonton televisi atau tayangan lain di gadget yang bersifat hiburan, misalnya, film kartun, sinetron, atau video di Youtube dibanding membaca buku, komik atau lainnya.
Menurut dosen Magister FITK UIN Jakarta, Jejen Musfah, ada banyak faktor yang menyebabkan tingkat minat baca anak-anak Indonesia rendah. Paling utamanya adalah sebagian besar keluarga di Indonesia belum memiliki budaya membaca yang bagus. “Orang tua tidak terbiasa membaca, mereka lebih memilih menonton televisi. Membaca belum menjadi kebutuhan,” kata Jejen saat berbincang dengan SINDOnews, Sabtu (14/10/2017).
Budaya membaca dan menulis secara umum juga tidak dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Mereka jarang sekali meluangkan waktu untuk membaca, baik itu buku, media cetak, komik, maupun novel. Dalam sebulan, seseorang belum tentu menghabiskan membaca satu buku sekali pun.
Kondisi ini diperparah dengan pihak sekolah yang kurang maksimal dalam mendorong minat baca siswa. Sekolah yang semestinya memberikan fasilitas membaca bagi murid-murid malah terkesan tidak peduli. “Banyak sekolah tidak memiliki perpustakaan. Jangankan perpustakaan, ruang guru terkadang juga harus disekat dengan ruang kelas. Ini problem besar,” ujar Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam ini.
Bagi sekolah yang memiliki ruang perpustakaan, persoalan juga tidak selesai begitu saja. Sebab, banyak sekolah yang menunjuk seorang guru untuk mengelola perpustakaan. Sekolah tidak merekrut seorang pustakawan yang benar-benar paham bagaimana menyusun buku, administrasi, dan membuat suasana yang nyaman di perpustakaan.
Fakta lain yang ditemukan di perpustakaan sekolah adalah minimnya jumlah buku. Perpustakaan sekolah rata-rata tidak memenuhi standar minimal 1 buku untuk satu siswa. “Jika pun bukunya banyak, temanya sama semua, kurang beragam,” tutur Jejen.
Terkait hal ini, sebenarnya sekolah bisa mengakalinya menjalin kerja sama dengan penerbit. Menurut Jejen, jika kepala sekolah kreatif membuat proposal yang baik, maka penerbit akan senang memberikan bantuan buku ke sekolah-sekolah. Pihak sekolah hanya perlu mengeluarkan biaya untuk ongkos kirim buku-buku tersebut.
Dari sekian banyak penyebab rendahnya minat baca anak-anak di Indonesia, pemerintah sebenarnya bisa memulai memperbaikinya melalui edukasi keluarga. Pemerintah perlu membuat program Gerakan Cinta Membaca Buku yang secara masif disosialisasikan kepada masyarakat. Kampanye gerakan tersebut secara terus-menerus dilakukan melalui televisi, radio, media cetak, atau media online, sehingga masyarakat lambat laun akan tahu dan ikut tergerak melakukannya.
Selain itu, pemerintah juga perlu membuat program khusus bagi para penulis. Selama ini penulis bukanlah profesi yang menjanjikan karena dikenakan potongan pajak oleh pemerintah dan penerbit dari bayaran yang diterima. Pajak-pajak ini membuat harga buku mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat.
Untuk lebih mengenalkan minat baca kepada masyarakat, pemerintah juga bisa membuat digitalisasi buku atau e-book. Generasi Z yang akrab dengan teknologi akan lebih mudah mengakses e-book melalui gawainya, kapan dan di mana pun. “Sama saja buku atau e-book, yang penting membaca, apa saja, termasuk komik,” kata Jejen.
Pemanfaatan e-book untuk memicu minat baca anak-anak juga diamini oleh penulis buku cum blogger wanita, Kayla Mubara. Menurutnya, bagi anak yang sudah termasuk dalam kategori gila baca, e-book bisa memadamkan kehausannya pada bacaan. “Jika yang kecanduan gadget, bisa dipindah arahkan ke e-book. Jika di kampung, akan efektif memakai buku fisik,” katanya.
Kayla tidak memungkiri bahwa minat baca anak-anak sangat dipengaruhi oleh orang tuanya. Mereka lebih mengenal budaya menonton dibanding membaca. Kondisi ini merupakan dampak dari perilaku sebagian besar ibu-ibu lebih memilih menonton televisi di saat jam-jam belajar anaknya. Lantaran tidak ada keteladanan dari orang tua, anak-anak yang disuruh belajar akhirnya malah ikut nonton televisi.
Jika ingin mengubah budaya menonton menjadi budaya membaca pada anak-anak, maka cara yang paling efektif adalah peran orang tua di rumah. Para ibu bisa memulainya dengan menemani anak-anak mengisi jam baca nasional dari pukul 18.00 sampai 20.00 WIB. Ajak anak-anak membaca buku cerita, buku pelajaran, atau apa saja setiap hari, sehingga membaca menjadi keluarga.
“Jika itu dilakukan, maka rating sinetron akan turun langsung,” ujarnya.
Budaya membaca pada anak-anak kemudian diperkuat lagi oleh sekolah. Masing-masing institusi pendidikan harus memberikan fasilitas bacaan yang maksimal kepada para siswanya. Tidak saja ruang perpustakaan yang nyaman tapi juga pustakawan yang teredukasi dengan baik untuk memanfaatkan bahan bacaan. Yang sering ditemui di perpustakaan sekolah adalah penjaga yang tidak ramah cenderung judes. Mereka marah jika melihat buku-buku berserakan di atas meja.
Sekolah juga sering kali hanya menugaskan satu orang untuk menjaga perpustakaan. Dia bertugas mengelola perpustakaan dari mulai penyusunan buku, administrasi peminjaman, dan lainnya. Dengan kondisi seperti ini tentu si penjaga perpustakaan akan keteteran dan akhirnya bekerja sekenanya saja.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan juga memiliki andil dalam minimnya minat baca anak-anak di Indonesia. Dari hasil tanya-tanya ke sejumlah guru, ternyata mereka mengaku tidak terlalu suka membaca. Membaca dan menulis baru dilakukan ketika berkaitan dengan kenaikan angka kredit atau pangkat.
Kondisi ini mau tidak mau juga berpengaruh kepada anak didik di sekolah. Siswa tidak terpacu untuk membaca lantaran tidak ada keteladan yang baik dari para pengajar. Mereka baru membaca buku ketika akan ujian, di luar itu mereka lebih senang bermain gadget.
Pemerintah sendiri sebenarnya telah menyadari rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menyiapkan program untuk mendongkraknya, yakni Gerakan Indonesia Membaca (GIM) dan Kampung Literasi (KL).
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad menjelaskan bahwa tahun ini GIM akan diselenggarakan di 19 kabupaten/kota, sementara KL digelar di 34 lembaga. Kedua program ini bertujuan agar masyarakat dapat memperoleh informasi dan mengakses bahan bacaan yang dibutuhkan dan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup sekaligus pembelajaran sepanjang hayat.
Selain GIM dan KL, pemerintah juga mengampanyekan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Program ini adalah membiasakan membaca buku anak didik selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Setelah terbiasa, tahap selanjutnya adalah siswa diminta untuk membuat resume dari buku yang dibaca dan dibacakan di depan kelas.
Jika program peningkatan literasi berjalan sesuai target, maka tingkat minat baca anak-anak di Indonesia akan semakin baik. Ini berarti cita-cita Indonesia menjadi negara maju, segera terwujud.
https://nasional.sindonews.com/read/1248402/144/menumbuhkan-minat-baca-siswa-dari-keluarga-1508012267/